Sabtu, 30 Juni 2007

Singapura Bisa Jadi ICON MLM Asia

Mengutip tulisan dari Alex Alopsen pada majalah Sukses No. 48/Tahun IV/Edisi Juni 2007 tentang kondisi bisnis MLM di Singapura.

Multi Level Marketing (MLM) adalah barang baru di negeri jiran Singapura. Sementara di Indonesia sebagian pebisnis sudah jenuh mendengarkan bisnis ini. Bahkan kalau mau jujur ada juga yang alergi karena banyaknya kasus penipuan ala “Money game” yang berkedok dan merusak citra MLM.

Sebenarnya prinsip MLM adalah ibarat apa yang disebut dalam philosofi Yunani kuno, bahwa manusia ‘satu tambah satu’; bisa dua, bisa sepuluh, bisa seratus, bisa seribu bahkan bisa sejuta. Itulah yang digambarkan dengan skema jaringan multi level marketing dengan sistem duplikasi.
Seorang pelaku bisnis multi level (downline) cukup hanya menjadi pendengar yang baik dari seniornya (upline) dan menduplikasi apa yang disampaikan oleh ‘upline’ kepada ‘downline’-nya. Maka apabila penduplikasian ini berhasil akan tercapailah “leveling’ yang ditargetkan, dengan segala predikat dan bonus yang dijanjikan.

Negeri Singa yang murni hanya mengandalkan jasa dan kualitas SDMnya, kini menjadi sebuah negara yang punya network bisnis paling luas di Asia. Bahkan warga Singapura jauh berbeda dari negeri kita dalam memilih pekerjaan. Kalau di Singapura warganya tidak tertarik menjadi pegawai negeri, di sini menyogok pun jadi yang penting bisa menjadi pegawai negeri.

Teringat sebuah pameo di kalangan investor ketika delegasi Jepang melakukan kunjungan ke Singapura untuk investasi. Dalam sebuah pertemuan investor Jepang bertanya kepada Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yu. “Apa syarat yang harus kami penuhi untuk investasi di negeri anda?”. Mr. Lee menjawab, “Silahkan tulis syarat yang anda inginkan, dan itulah menjadi syarat yang berlaku di Singapura.” Dengan jawaban itu masuklah sejumlah konglomerat Jepang berinvestasi di Singapura dan salah satu investasi besar yang kini menjadi andalan Singapura adalah Suntec City.

Suntec City kini terkenal sebagai pusat pertemuan (meeting), insentif (incentive) konferensi (conference) dan pameran (exhibition) atau dikenal dengan istilah MICE. Belum lama ini serikat buruh sedunia baru saja melakukan pertemuan di Suntec City. Sebagai seorang yang bolak balik Jakarta Singapura, penulis juga menjadi seorang member multi level marketing (MLM) di Singapura. Dan produk yang dipasarkan saat ini telah ada di Indonesia.

KRAN MULTI LEVEL
Sebelumnya Singapura masih ‘mengharamkan’ MLM di negeri penuh denda ini. Tapi karena negeri dihantam krisis ketika virus SARS mewabah beberapa tahun lalu dan transaksi bisnis menurun drastis bahkan jumlah pengangguran meningkat, maka Pemerintah Singapura melihat bahwa bisnis jaringan atau multi level marketing (MLM) dapat menjdai salah satu solusi mengurangi pengangguran.

Tahun 2002 Pemerintah Singapura secara resmi mengizinkan perusahaan yang bergerak di bisnis multi level dapat beroperasi.

Dengan dibukanya kran multi level ini dengan sumber dana, sumber daya dan sumber jaringan yang dimiliki warga Singapura, mereka tidak hanya membuka jaringan dengan menjadi ‘jago kandang’ di negeri mereka. Mereka langsung mengepakkan sayap ke negara tetangga seperti Indonesia, malaysia, Philipina, Thailand, Taiwan, Hongkong, China, jepang, India bahkan Australia.

Salah satu konsultan Manajemen di Singapura Tony Tan bahkan langsung mengundurkan diri dari perusahaanya dan langsung bergabung dengan MLM yang bergerak di bidang pemasaran Ozoal Theraphy produk Prancis, yaitu LAMPEBERGER (baca;Lamberji). Tony Tan kini menjadi seorang networker yang meraih sukses dalam jaringan, keuangan dan kemandirian.

Kalau berkunjung saat ini pada akhir pekan, sejumlah hotel banyak disewa sebagai tempat training dan pertemuan bisnis MLM. Dalam waktu yang tidak terlalu lama para pelaku MLM di negeri ‘broker’ ini telah merasakan nikmatnya sukses di bisnis MLM.

Negeri kita dengan penduduk lebihdari 220 juta jiwa, sebenarnya adalah sebuah oase yang sangat terbuka dan menjanjikan dalam bisnis MLM. Asal pemerintah membentuk tim untuk meregistrasi, menganalisa sistem, mengakreditasi, memberi sertifikasi, meminta jaminan modal, mengaudit dan mengumumkan kepada publik setiap perusahaan yang akan dan telah beroperasi. Sehingga ada jaminan bagi seorang pelaku bisnis bahwa perusahaan MLM yang aka dimasukinya, legal dan ‘under control’ oleh pemerintah.

Jangan sampai terjadi lagi seorang ketua DPR pun harus tertipu Rp. 10 miliar karena masuk dalam sebuah bisnis investasi. Jika Ketua DPR saja tertipu bagaimana dengan publik awam ?

Tidak ada komentar: